Rabu, 23 Januari 2008

CSR FOR PROFIT ; Harus Kontinyu dan Penuh Komitmen

CSR diyakini mampu menjadi marketing tools yang ampuh. Namun, aktifitas ini mesti dikemas dalam program yang berkesinambungan . Selain itu, apa lagi?

Dewasa ini sudah tidak aneh lagi bila kita mendengar pernyataan dari sebuah perusahaan seperti berikut : “Kami memperoleh untung dari masyarakat yang membeli produk kami. Karenanya, sudah sepatutnya kami memberikan kembali kepada komunitas tempat kami melakukan bisnis.” Lazimnya bentuk tanggung jawab sosial perusahaan ini dikemas dalam program lingkungan atau pemberian beasiswa.

Isu tentang Corporate Social Responsibility (CSR) memang kian hanget. Persoalannya bukan lagi melulu dari aspek sosial, tetapi sudah jauh merasuk ke aspek bisnis dan penyehatan korporasi. Lama-kelamaan CSR tidak lagi dipandang sebagai keterpaksaan, melainkan sebagai kebutuhan. Dari yang semula dianggap sebagai cost, kini mulai diposisikan sebagai investasi.

Mengapa pula perusahaan harus berinvestasi pada kegiatan CSR? Apakah lantaran moralitas semata atau dia sudah menjadi marketing tools yang efisien? Pertanyaan ini kerap hinggap di kepala manajemen dan divisi marketing sewaktu mempersiapkan strategi CSR.

Akan tetapi, perdebatan paling gres tentang CSR adalah soal impak program tersebut pada profit perusahaan. Para pelaku dituntut untuk ikut memikirkan program yang yang mampu mendukung sustainability perusahaan dan aktifitas CSR itu sendiri. Dalam hal ini, strategi perusahaan mesti responsif terhadap terhadap kondisi-kondisi yang mempengaruhi bisnis-seperti perubahan global, tren baru di pasar, dan kebutuhan stakeholders yang belum terpenuhi-ketimbang mengabaikannya.

Berkaitan dengan masalah impak tadi, Global CSR Survey paling tidak bisa memperlihatkan betapa pentingnya CSR. Bayangkan, dalam survey di 10 negara, mayoritas konsumen (72%) mengatakan sudah membeli produk dari suatu perusahaan-serta merekomendasikan kepada yang lainnya-sebagai respon terhadap CSR yang dilakukan perusahaan tersebut. Sebaliknya, sebanyak 61% dari mereka sudah memboikot produk dari perusahaan yang tidak punya tanggung jawab sosial.

Ya, CSR kini bukan lagi sekedar program charity yang tidak berbekas. Melainkan telah menjadi pedoman untuk menciptakan profit dalam jangka panjang (CSR for profit). Karena itu, hendaknya kegiatan sosial yang dijalankan harus berhubungan dengan kepentingan perusahaan dan harus mendukung core business perusahaan.

Ambil contoh pemberdayaan UKM oleh Unilever berupa program pembudidayaan ikan air tawar untuk bahan baku penyedap rasa merk Royco. Dalam program ini, mereka merangkul kampus UGM dan berhasil menciptakan inovasi baru penyedap rasa cair bebas mono sodium glutamate (MSG). Selain memudahkan pasokan bahan baku, dalam jangka panjang hal itu bisa mendatangkan profit besar karena kesadaran konsumen terhadap kesehatan semakin tinggi.

Maya Tamimi, Program Manager untuk Penguatan UKM PT Unilever Indonesia, menegaskan bahwa CSR harus dipahami sebagai “business total impact”. “Perusahaan kami melihat CSR dalam kaitannya dengan tiga hal, yakni supply chain dari bahan baku sampai pendistribusian, operasional bisnis, dan keterlibatan masyarakat,” ungkapnya. Jadi, bukan Cuma kegiatan filantropi atau kedermawanan, tetapi mesti ada unsure pemberdayaan masyarakat secara ekonomi, sosial, pendidikan, kesehatan, maupun lingkungan hidup.

Program Unilever lainnya adalah pengembangan UKM lainnya adalah pengembangan UKM untuk memberdayakan komunitas petani kedelai hitam (bahan baku utama Kecap Bango) di Pulau Jawa. Di samping itu, kecap Bango juga menyelenggarakan Festival Jajan Bango untuk melestarikan makanan tradisional-yang tentunya memakai kecap sebagai bumbunya.

Langkah serupa juga dijalankan oleh Starbucks. Di Aceh, mereka membuka lahan 10.000 hektar untuk pemberdayaan kopi. Di satu sisi, Starbucks turut memberdayakan petani kopi Aceh. Di sisi lain, Starbucks mendapatkan hasil kopi yang kualitas bijinya sangat bagus. “Ini yang namanya CSR,” tandas Silih Agung Wasesa, Managing Partner AsiaPR.

Menurut Silih, ketika bicara tentang program CSR, semua aspek harus mengarah pada eksistensi perusahaan itu sendiri. Tidak hanya bagi kepentingan masyarakat sekitar, tetapi juga pada dampak bagi perusahaan. Oleh karena itu, perlu ada alat ukur yang jelas untuk mengukur keberhasilan program tersebut.

Sangat Ampuh
Philip Kotler, salam buku CSR: Doing the Most Good for Your Company and Your Cause, membeberkan beberapa alas an tentang perlunya perusahaan menggelar aktivitas itu. Disebutkannya, CSR bisa membangun positioning merek, mendongkrak penjualan, memperluas pangsa pasar,meningkatkan loyalitas karyawan, mengurangi biaya operasional, serta meningkatkan daya tarik korporat di mata investor. Apakah CSR memang seampuh itu?

Dalam kaca mata Godo Tjahjono, CSR memang punya beberapa manfaat yang bisa dikategorikan dalam empat aspek, yaitu : license to operate, sumber daya manusia, retensi, dan produktivitas karyawan. “Dari sisi marketing, CSR juga bisa menjadi bagian dari brand differentiation,” imbuh Chief Consulting Officer Prentis ini.

Pendapat ini juga diamini oleh Silih. Ia melihat CSR bisa digunakan sebagai marketing tools yang sangat ampuh, meskipun baru pada level core business perusahaan, dan belum sampai pada level produk. “Kalau sampai ke produk dinamakan sebagai social marketing. Misalnya, program minuman mineral kemasan Aqua untuk penyediaan air minum di NTT, setiap pembelian 1 liter Aqua akan membantu 10 orang di NTT. Ini namanya social marketing karena untuk profit jangka pendek. Nah, CSR tidak sesempit ini.”

Ditambahkannya, CSR juga mesti dilaksanakan sejak perusahaan itu berdiri. Semakin awal aktivitas CSR dilaksanakan, seperti Body Shop, impaknya akan sangat positif bagi pembentukan citra dan kultur perusahaan. Hal ini juga dilakukan oleh resor Pulau Umang. Program CSR telah mereka terapkan sejak perusahaan berdiri tahun 2004. Salah satunya lewat program penanaman sejuta pohon, dimana setiap tamu yang berwisata ke sana akan menerima satu pohon untuk ditanam di wilayah itu.

“Kami mengajak orang untuk tidak hanya mengeksploitasi dan mengeksplorasi alam,” terang Christian P.B. HAlim, President Director Pulau Umang Resort & Spa. Bukan itu saja, resor ini juga berupaya memberdayakan masyarakat sekitar lewat program pengadaan air bersih dan pinjaman dana pembangunan tanpa berbunga.

Hebatnya, Pulau Umang tetap menjalankan program CSR yang sudah dicanangkan, meski kondisi bisnis wisata laut terpuruk sejak munculnya bencana Tsunami tahun 2004. Padahal, kebanyakan perusahaan melakukan CSR dari keuntungan perusahaan. Akibatnya, kalau perusahaan merugi atau untungnya cuma sedikit, maka CSR bisa ditiadakan. “Mestinya, logikanya dibalik. Pelaksanaannya pun harus kontinyu karena CSR adalah profit jangka panjang,” saran Silih.

Silih juga mengingatkan, agar lebih efektif, perusahaan perlu membentuk departemen sendiri untuk menangani CSR. Departemen ini juga mesti punya koordinasi yang kuat dengan bagian marketing. Selain itu, pelaksana di dalamnya adalah orang-orang yang capable dan bukan orang buangan.

Langkah seperti itu ditempuh oleh Sido Muncul. Sejak 10 tahun silam, perusahaan jamu itu sudah membentuk departemen khusus dengan 6 anggota tim operasional CSR. Departemen CSR mereka menangani limbah yang terkait dengan lingkungan hidup, mengelola proses pembuangan sampah, dan penggunaan mesin-mesin hemat listrik. Tujuannya untuk mengurangi konsumsi bahan bakar minyak dan memerangi pemanasan global.

Sementara itu, di perusahaan-perusahaan raksasa bentuk organisasinya bukan lagi departemen tapi sudah menjelma menjadi yayasan tersendiri. Misalnya Eka Tjipta Foundation yang memfasilitasi program-program CSR dari unit-unit bisnis Sinar Mas Group; lalu PT HM Sampoerna memiliki Sampoerna Foundation; dan Unilever mendirikan Yayasan Unilever Peduli.

Yang jelas, program CSR mesti dikemas dengan inovasi dan diferensiasi yang kuat. Program “me-too” seperti pemberian beasiswa rasanya kurang kuat jika tidak related dengan positioning korporat. Tanpa inovasi yang lahir hanyalah program basa-basi.

Nah, untuk menemukan diferensiasi dalam aktifitas CSR, beber Godo, program tersebut mesti konsisten dan melibatkan seluruh elemen dalam perusahaan. “Dengan begitu, maka aktifitas CSR akan berkontribusi terhadap pembentukan ekuitas dan reputasi perusahaan. Selanjutnya, akan mendatangkan revenue dan profit jangka panjang.”

Agar pelaksanaan CSR bisa berjalan lancer. Lanjutnya, maka yang paling penting adalah pembangunan kultur secara top-down. Ia tidak memungkiri pentingnya penyesuaian aktivitas dengan visi dan positioning perusahaan, tetapi efektivitasnya akan sangat tergantung pada seberapa besar komitmen jajaran pimpinan mengamalkannya dalam kebijakan perusahaan.

2006-52-143
Vicky Widyasari

Sumber : Majalah Marketing Edisi 11/VII/NOVEMBER/2007
Artikel oleh David S. Simatupang

Tidak ada komentar: